بسم الله الرحمن الرحيم


AKU HANYALAH SEORANG ANAK KECIL YANG SEDANG BELAJAR MEMAHAMI ARTI SEBUAH KEHIDUPAN DAN BELAJAR MENERIMA SEMUA YANG TERLIHAT OLEH MATA

Minggu

Nahkoda dalam Bahtera

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم
“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum pria) di atas sebagian yang lain (kaum wanita) dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka…”. (An-Nisa: 34)

Kita tahu setiap rumah tangga butuh seorang pemimpin untuk mengatur keperluan rumah tersebut berikut penghuninya dan ia bertanggung jawab atas seluruh penghuni rumah. Karena begitu besar perannya maka ia harus didengar dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dengan hikmah-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih pria untuk menjadi pemimpin tersebut!
Berkata Al Imam Ath Thabari rahimahullahu menafsirkan ayat di atas: “Kaum pria merupakan pemimpin bagi para wanita dalam mendidik dan membimbing mereka UNTUK MELAKSANAKAN KEWAJIBAN KEPADA ALLAH dan kepada suami-suami mereka. Karena Allah telah melebihkan kaum pria di atas istri-istri mereka dalam hal pemberian mahar dan infak (belanja) dari harta mereka guna mencukupi kebutuhan keluarga. Hal itu merupakan keutamaan Allah tabaraka wa ta`ala kepada kaum pria hingga pantaslah mereka menjadi pemimpin kaum wanita…”.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga menyatakan pria lebih utama dari wanita dengan nafkah yang diberikannya dan usahanya. (Lihat Tafsir Ath Thabari, 5/57-58)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa‘di rahimahullahu berkata setelah membawakan ayat ini dalam tafsir beliau: “Pria memimpin wanita dengan mengharuskan mereka MENUNAIKAN HAK-HAK ALLAH ta‘ala seperti menjaga apa yang diwajibkan Allah dan mencegah mereka dari kerusakan. Mereka juga memimpin kaum wanita dengan memberi belanja/nafkah, memberi pakaian dan tempat tinggal”. (Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin Mannan hal. 177)

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”(HR. Tirmidzi, dan dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 926: hasan shahih)

“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi”. (Shahih, HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no.1436).

“Istri yang menyenangkan ketika dipandang oleh suaminya, taat kepada suaminya ketika diperintah dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara yang tidak disukai suaminya baik dalam dirinya maupun harta suaminya. (HR. Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam As Shahihul Jami` no. 3398, Al Misykat 3272 dan As Shahihah 1838)

“Tidak boleh seorang istri puasa sunnah sementara suaminya ada di rumah kecuali setelah mendapat izin dari suaminya”. (Shahih, HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya”. (Shahih, HR. Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)

Dari beberapa dalil yang telah disebutkan jelaslah bagaimana tingginya kedudukan seorang suami. Semua itu menunjukkan bahwa suamilah yang berhak memimpin keluarganya. Maka dengan keimanan, taqwa dan ilmu-nya pantas sebagai nahkoda bagai sebuah bahtera yang ingin pelayarannya berakhir dengan selamat ke tempat tujuan. Inilah pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Adil maka tidak pantas seorang hamba yang mentaati-Nya untuk memprotes ketetapan-Nya. Bukankah Dia Yang Maha Tinggi telah berfirman:

“Dan janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Karena itu mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa: 32)

Wallahu ta‘ala a‘lam bishshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar