Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ
أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi
Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang
kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat
kepada hati dan amal kalian”.
Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam
menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah
mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas
adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang
mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap
pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan
menolak bahaya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari
setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang
tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di
hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya,
meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan
makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian
perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena
manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas
ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal,
membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang
melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak
ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk
diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena
mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika
perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat
di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang
terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya
bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang
mengotori keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah
semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan,
sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka
kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang
jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas,
maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang
ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan
lainnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas
karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk
taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.
SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan
orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan
sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang
yang memang dimudahkan Allah.
Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu
yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik
pada diriku.” [2]
Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ
القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada
agamaMu.
Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman
kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di
antara dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya.
[HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi,
III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi
Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].
Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih
penting daripada amal.” [3]
Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada
kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling
berat bagi nafsu manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah
memiliki bagian dari ikhlas.” [5]
Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling
depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua.
Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya.
Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan
hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan
karena ingin dilihat orang lain. [6]
Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di
dunia adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari
hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna lain.” [7]
Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan
sepanjang masa, karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata,
barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat
saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit
sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali
orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan
dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia
akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal
pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah
yang dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ
اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا
وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah
mereka perkirakan.Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah
mereka perbuat … [Az Zumar : 47-48]
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah
melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga
beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu,
Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara
berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh
orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.
Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung,
dipuji, ingin dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau
terbetik dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah,
sedangkan yang lainnya tidak.
Ada
lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat
penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama,
mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa
Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal
‘Afiyah. [9]
Membersihkan
diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat
dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan
usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam
jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat,
harta untuk pamer dan lainnya.
Sulitnya
mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu
menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia,
serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu
kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya
: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].
Jadi,
solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi,
memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan
lainnya.
Dan
bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang
melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di
dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya
mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada
Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan
bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah
Ta’ala.
HUKUM
BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah
kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.
Pertama
: Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan
untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya
dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Allah berfirman:
أَنَا أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي
غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal
mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya.
[HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi,
seperti ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa
bermaksud untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا
وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ
إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
[Hud : 15-16].
Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan
pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah;
sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah
kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena
perbuatannya.
Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub
kepada Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada
Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat
bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua
ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah
niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak
menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan dalam
KitabNya:[10]
لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari
Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].
Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka
ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di
dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan
ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan
sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti
itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمِنْهُم مَّن
يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا
مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat,
jika mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka
tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah :
58].
Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu, ada seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !
Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ingin
mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya
sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada
pahala baginya.”
Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim,
no.1907), dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak
dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai
hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.
Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah
karena Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada
beberapa pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah,
bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan
selain ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya
merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari
pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.
Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang
yang termasuk dalam golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain
ibadah?”
Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh
perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal
ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya,
ia tidak mendapat pahala”.
Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya
amat besar dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa
jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan niatnya.
Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang
paling berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada
Allah agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal” [12].
IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk
berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas
kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya
dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan
syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat
yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat
dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan
KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak
terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak,
sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ
يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah
dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan
Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu
bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu
mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]:
“Inilah dua landasan amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai
dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah
pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan,
apa yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Dia
tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga
kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak
mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ
يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan,
kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah
Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam
Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar